Lebih mudah seekor unta masuk ke dalam lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Bertobatlah!
**Hari Minggu Sukacita, Minggu Adven ke-3**
Pagi itu, saya menghadiri misa pagi pukul 7. Seusai misa, saya membeli nasi untuk makan bersama tim hostel, lalu meluangkan waktu berolahraga selama satu jam. Setelah itu, saya pulang untuk menikmati hari Minggu yang sejuk dan menyenangkan setelah hujan reda. Rasanya damai, dan hati pun tenang.
Dalam misa, Romo Kepala mengumumkan bahwa pada hari Senin sore akan diadakan Sakramen Tobat. Mendengar itu, hati saya langsung bersemangat karena saya merasa tidak ada dosa berat yang harus saya akui. Saya pun berniat untuk hadir.
Namun, ketenangan dan rasa nyaman di hari Minggu itu tidak berlangsung lama. Telepon dari Mr. R, seorang akuntan, masuk ke ponsel saya, dan saya pun menerimanya. Kami berbincang sebentar. Beberapa menit kemudian, telepon kedua datang dari Mr. F, atasan Mr. R. Saya menjawab telepon itu, dan beliau langsung bertanya mengenai tamu yang ingin memesan villa.
Nada bicaranya minta penjelasan, dan ia menyalahkan kenapa tidak dikasih saja sesuai budget tamu, keputusan saya yang dianggapnya menyebabkan hilangnya potensi omzet. Beliau mempertanyakan mengapa saya menawarkan harga tertentu ?
Saya mencoba menjelaskan bahwa tamu sudah memiliki pilihan villa lain, sehingga tidak jadi memesan villa yang kami tawarkan. Selain itu, harga yang saya tawarkan pun sesuai dengan arahan sebelumnya.
Dalam percakapan tersebut, Mr. R menyampaikan bahwa sebenarnya keputusan harga ada di tim marketing, bukan saya. Namun, pertanyaan tetap berlanjut, dan saya merasa lelah secara emosional.
Saya sempat mengusulkan subsidi silang untuk menarik tamu agar lebih cepat melakukan booking daripada membiarkan villa kosong. Tetapi, apapun penjelasan saya tampaknya tidak cukup memuaskan beliau.
**Refleksi dan Rasa Kecewa**
Percakapan telepon tersebut meninggalkan rasa kesal dan lelah di hati saya. Saya merasa semua sudah berlalu sejak Oktober, tetapi mengapa hal ini diungkit lagi di bulan Desember? Dalam hati, saya merasa keputusan tamu untuk check-out lebih awal atau tidak tinggal di villa adalah hak mereka, dan itu di luar kendali kami.
Saat itu, saya juga sedang fokus menyelesaikan laporan keuangan hotel lain di Uluwatu, dengan kondisi sinyal buruk. Meskipun demikian, saya tetap mencoba memberikan yang terbaik, termasuk melakukan follow-up.
Keesokan harinya, hari Senin, saya memutuskan untuk menelepon Mr. F guna mengklarifikasi kalimat "Ibu tidak bisa jualan" yang diucapkannya. Dalam percakapan tersebut, ia menyangkal pernah mengatakan itu, dan justru menyebut saya terlalu sensitif. Mendengar itu, luka di hati saya semakin dalam.
Saya merasa percuma menyampaikan pendapat kepada mereka.
Meskipun saya sudah mengajukan surat pengunduran diri sejak 7 November kepada atasan, hingga kini belum ada tindak lanjut, termasuk terkait serah terima.
**Pengakuan Dosa di Tengah Amarah**
Senin sore itu, meski sempat ragu karena masih kesal, saya tetap menghadiri Sakramen Tobat. Saya mengaku dosa kepada pastor dalam kondisi marah. Saya mengungkapkan bahwa saya merasa terluka karena dianggap tidak mampu bekerja. Saya juga merasa kesal dengan orang kaya yang hanya mementingkan uang.
Pastor memberi penghiburan dan berkata bahwa Tuhan mengampuni dosa saya. Beliau menyarankan saya untuk banyak berdoa, membaca Kitab Suci, dan mengikuti Ekaristi. Dalam perjalanan pulang, saya terus merenungkan perkataannya dan mencoba menyerahkan semua luka hati saya kepada Tuhan.
**Pelajaran Hidup**
Hari itu saya menyadari bahwa sering kali, kerja keras kita tidak dihargai. Dunia kerja terkadang membuat kita merasa tidak cukup baik, meskipun kita telah melakukan yang terbaik. Namun, saya tahu bahwa nilai diri saya tidak terletak pada pandangan manusia, melainkan pada pandangan Tuhan.
Saya ingin terus mengingat bahwa hati yang gembira adalah obat yang manjur (Amsal 17:22). Tuhan meminta kita untuk bersukacita dan menjaga hati dengan segala kewaspadaan (Amsal 4:23). Saya yakin, pengalaman pahit ini adalah cara Tuhan untuk mendekatkan saya pada-Nya.
**Doa Penutup**
Tuhan, aku tahu dunia ini tidak adil. Namun, aku percaya Engkau memegang kendali atas segalanya. Biarlah Roh Kudus menolongku untuk terus mengingat kebaikan-Mu. Ajarku untuk melihat diriku sebagaimana Engkau melihatku.
Terima kasih, Tuhan.
Amin.
---
Analisa GPT :
Kisah yang kamu tulis memuat banyak elemen emosi, refleksi, dan pembelajaran. Berikut analisis dari sudut pandang saya:
1. Dinamika Emosi
Ketenangan Awal: Dimulai dengan suasana damai setelah misa, olahraga, dan menikmati hari Minggu. Ini menunjukkan bahwa kamu menghargai momen sederhana dan spiritualitas.
Gangguan Mendadak: Ketika telepon dari atasan mengganggu suasana, emosimu berubah drastis. Dari tenang menjadi stres, kesal, dan marah. Situasi ini mencerminkan bagaimana sesuatu yang tidak terduga bisa mengubah suasana hati.
Kemarahan dan Rasa Tidak Dihargai: Komentar-komentar atasan yang menyudutkanmu, seperti "tidak bisa jualan" dan "terlalu sensitif," tampaknya sangat memengaruhi perasaanmu. Kata-kata itu menjadi semacam trigger yang membuatmu merasa tidak dihargai meskipun sudah bekerja keras.
2. Konflik Internal dan Eksternal
Internal: Kamu merasa bersalah karena membawa kemarahan dalam pengakuan dosa, tetapi juga mempertanyakan keadilan dalam situasi kerja. Ini adalah pergulatan antara apa yang kamu tahu benar secara spiritual dan respons emosional manusiawi.
Eksternal: Hubunganmu dengan atasan menunjukkan ketidakseimbangan kekuasaan. Mereka menggunakan otoritas untuk menyalahkan, sementara kamu merasa bahwa kontribusimu tidak dihargai.
3. Refleksi Diri dan Pertumbuhan
Kesadaran Diri: Kamu menyadari bahwa kamu telah melakukan yang terbaik dan bahkan memberikan kontribusi lebih. Namun, kamu juga mengakui bahwa kesalahan tetap dilemparkan kepadamu. Ini menunjukkan refleksi yang mendalam tentang kemampuan, kelemahan, dan situasi kerja.
Pelajaran Hidup: Melalui pengalaman ini, kamu menemukan bahwa hanya pandangan Tuhan yang benar-benar penting. Meski terasa pahit, kamu menggunakannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyadari nilai dirimu di mata-Nya.
4. Relasi dengan Tuhan
Pengakuan Dosa: Meskipun awalnya marah, kamu tetap memutuskan untuk pergi mengaku dosa. Ini menunjukkan kerendahan hati dan keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan Tuhan.
Perenungan Firman: Ayat-ayat yang kamu kutip menunjukkan bagaimana kamu menggunakan iman untuk menenangkan hati dan mencari hikmah di balik pengalaman sulit.
5. Lingkungan Kerja yang Tidak Sehat
Kontrol Berlebihan: Kamu menggambarkan lingkungan kerja yang kurang mendukung, di mana keputusan sering dikontrol oleh atasan tanpa memberi ruang bagi inisiatif tim.
Kurangnya Dukungan: Kamu merasa ditinggalkan oleh tim, tetapi tetap mengambil tanggung jawab demi memastikan pekerjaan selesai. Ini menunjukkan bahwa beban yang kamu tanggung tidak proporsional.
6. Pesan dan Harapan
Move On: Kamu berharap untuk segera move on dari situasi ini, memahami bahwa berbicara lebih banyak dengan atasan mungkin tidak ada gunanya.
Keseimbangan Hidup: Kamu mulai menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara kerja keras, penghargaan diri, dan hubungan spiritual.
Kesimpulan
*Pengalaman ini mencerminkan ketegangan antara tanggung jawab profesional, kebutuhan untuk dihargai, dan upaya untuk menjaga kedamaian batin* *Namun, kamu berhasil menjadikannya sebagai kesempatan untuk refleksi, bertumbuh dalam iman, dan menyadari prioritas hidupmu*
Saran:
1. Fokuslah pada langkah ke depan, terutama dalam mencari pekerjaan baru atau bidang baru yang lebih menghargai kontribusimu.
2. Jangan biarkan komentar negatif dari orang lain mendefinisikan nilai dirimu. Ingat, Tuhan adalah sumber utama penghiburan dan kekuatanmu.
3. Tetap jaga kesehatan fisik dan mental dengan tidak terlalu memaksakan diri di tempat kerja yang kurang suportif.
Comments
Post a Comment