Hotel Gratis, Aku Tidak Lupa



Hari ini aku teringat kembali pada satu momen di masa muda yang diam-diam meninggalkan bekas di hati.

Saat itu aku menginap di rumah tanteku—rumah yang besar dan indah. Tapi aku masih ingat jelas kata-kata pamanku saat tante sedang di luar. Ia berkata dengan nada serius:
“Enak ya, nginep di sini kayak hotel gratis.”
Bukan hanya paman yang berkata begitu, bahkan ada teman tante yang cerewet juga ikut-ikutan menyebutku “tamu hotel gratis.”

Ditambah lagi dengan tuduhan bahwa tante terlalu sering membela kami dan bisa menyebabkan pertengkaran. Paman juga bilang bahwa sudah terlalu sering tante membantu keluarga mamaku.

Kalimat-kalimat yang mungkin terdengar ringan di telinga orang lain, tapi bagiku yang masih muda saat itu, terasa seperti belati kecil yang menancap di hati.

Aku hanya bisa tersenyum dan berkata, “Terima kasih atas segala kebaikan, Paman.” Karena apalagi yang bisa aku katakan? Aku tidak punya kuasa, tidak punya keberanian untuk membela diri. Aku tahu… saat itu keluarga kami sedang dalam masa sulit. Mama dan Papa bekerja keras setiap hari hanya untuk memastikan kami bisa makan, bisa sekolah, bisa hidup dengan layak. Aku tahu diri. Aku tidak merasa pantas meminta lebih.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menginap di rumah itu. Setiap kali tante mengundang, aku selalu punya alasan untuk menolak. Mungkin sebenarnya tante menyayangiku sebagai keponakan—beliau menikah tapi tidak punya anak. Tapi aku memilih menjauh. Alasannya hanya satu: aku tak ingin hatiku terluka lagi.

Aku memilih diam, menarik diri dengan cara yang tidak mencolok. Tapi diam-diam, aku belajar satu hal penting: menjaga harga diri bisa dilakukan dengan lembut, tanpa harus marah.

Tahun ini, Tuhan menunjukkan keadilan-Nya dengan cara yang begitu halus. Rumah besar yang dulu disebut seperti hotel itu, kini sedang berusaha dijual. Tanteku kini menghadapi kesulitan ekonomi. Mereka meminta bantuan bulanan. Dan aku… yang dulu dianggap sebagai “penumpang gratis,” kini dimintai tolong untuk membantu.

Aku tidak marah. Aku tidak menyimpan dendam. Tapi aku juga tidak lupa. Yang aku tahu, Tuhan melihat segalanya. Dan aku bersyukur, karena luka itu membentukku jadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih memahami arti hormat serta batas.

Hari ini, aku menulis ini bukan karena ingin mengungkit. Tapi untuk mengakui perasaanku sendiri yang dulu tertahan. Untuk menghormati diri sendiri yang dulu hanya bisa diam.

Dan yang terutama:
Untuk mengucap terima kasih, bukan kepada mereka, tapi kepada Tuhan.
Karena aku percaya—rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan (Yeremia 29:11). Dan kini aku mengerti, bahwa dalam segala sesuatu, Tuhan turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Allah bekerja di dalam hidup kita melalui orang-orang lain, peristiwa, dan keadaan—tapi tidak pernah membuat kita pahit. Ia melakukannya supaya kita menjadi lebih baik.
Maka dari itu, senantiasalah mengucap syukur.
Berdoalah tanpa henti.
Sekalipun berupa air mata, doa adalah nyanyian hati kepada Tuhan.
Dan bila masih sanggup, hiburlah orang-orang lain dengan penghiburan yang telah Allah berikan kepadamu.

Comments

Popular posts from this blog

Doa Legio Maria, Doa Tessera, Doa Catena Legionis, Doa Untuk Memohon Beatifikasi Hamba Allah Frank Duff

Retret Awal Lembah Karmel Cikanyere, My diary with God part 90

Itinerary Manila Trip (20-24 Februari 2025) Solo Traveller